3 Februari 2023 01:49
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 mengalami penurunan skor 34/100 dari sebelumya 38/100 pada 2021. Penurunan ini merupakan yang terendah sejak reformasi
Jokowi yang selama masa kampanyenya selalu menegaskan komitmen pemberantasan korupsi hanya berkomentar singkat mengenai penurunan indeks tersebut.
"Iya, itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama," kata Jokowi di Bali, Kamis (2/2/2023).
Pemberantasan korupsi menjadi salah satu janji utama Jokowi dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014 dan 2019.
Dalam poin keempat "Nawa Cita" Pilpres 2014, Jokowi berjanji:
"Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya."
Begitu pun halnya ketika Pilpres 2019, Jokowi yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin juga menyelipkan semangat antikorupsi di visi keenam mereka.
"Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya."
Pertanyaannya dengan janji-janji indah itu mengapa indeks persepsi korupsi Indonesia malah melorot?
Deputi Sekertaris Jendral Transparansi Internasional Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan penurunan tersebut menandakan adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan kata lain, ada ketikdaksinkronan antara janji yang diucapkan Jokowi dengan realitas pelaksanaan.
“Naik turun satu atau dua poin itu sebenarnya tidak ada artinya. Keburukannya tak begitu menonjol. Tapi kalau lebih dari itu baru menarik. Tahun 2019 ke 2020 kita turun 3 poin, sekarang justru lebih parah dari 2021 ke 2022 itu kita turun 4 poin,” kata Wawan kepada Narasi (1/2/2023).
TII mencatat sejak 2012 Indonesia hanya mampu menaikkan skor indeks persepsi korupsi sebanyak dua poin. Rendahnya skor tersebut mengindikasikan praktik korupsi yang kian masif ditambah penegakkan hukum dan pencegahan yang tidak efektif.
Wawan menyatakan jebloknya indeks persepsi korupsi kontradiktif dengan klaim kesuksesan pemerintah dalam G20 yang merupakan salah satu forum diplomasi terpenting.
Sebab, di antara negara G20 Indonesia termasuk dalam ranking terendah sebelum Rusia. Artinya, menurut TII Indonesia telah gagal dalam memperkuat agenda antikorupsi global.
“Tahun kemarin kita menjadi presidensi G20, klaimnya adalah kita sukses. Suksesnya apa? Sukses menurunkan skor IPK kita? Dan masa dari anggota G20 kita sama seperti Rusia? Ini kan jadi pertanyaan,” katanya.
Skor indeks persepsi korupsi Indonesia 2022 jauh di bawah rata-rata negara Asia Pasifik yang ada di 45/100.
Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat 7 dari 11 negara. Indonesia juga masuk dalam ⅓ daftar negara paling korup di dunia.
Pertanyaannya apa yang membuat skor indeks persepsi korupsi anjlok?
Wawan mengatakan penurunan indeks persepsi korupsi disebabkan sejumlah hal seperti:
Hal ini tertuang dalam sektor Political Risk Service atau Country Risk Rating yang mengalami penurunan sebanyak 3 poin. Artinya, risiko terjadinya praktik korupsi meningkat saat pelaku usaha menghadapi pejabat publik negara.
Wawan memaparkan salah satu sebab titik rawan terjadinya konflik kepentingan juga dipicu banyaknya pejabat negara yang merangkap sebagai pelaku usaha dan bisnis. Ia menyebut 60% dari 560 anggota DPR adalah pebisnis.
Data tersebut belum mencakup pejabat daerah seperti bupati, pejabat tinggi di MPR, kantor staff presiden, termasuk menteri yang memiliki bisnis di berbagai bidang.
“Hari ini konflik kepentingan sangat marak terjadi. Berkelindan antara pebisnis dan pejabat. Jadi nggak ada lagi batasannya,” kata Wawan.
Wawan mengatakan buruknya independensi lembaga pengawas di Indonesia turun menyumbang anjloknya skor indeks persepsi korupsi.
Misalnya, revisi UU KPK yang melemahkan kerja pemberantasan korupsi dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kerap diisi oleh para politisi.
Menurut Wawan ini menjadi bentuk kesalahan pemerintah dalam melakukan agenda antikorupsi. Sebab alih-alih membenahi UU Tipikor yang telah lama tidak berkembang, pemerintah malah merevisi UU KPK. Pasalnya, UU Tipikor dinilai sudah terlalu lama dengan revisi terakhir pada tahun 2001.
“Kami dulu mengalamatkan yang direvisi UU Tipikornya, bukan UU KPK, tapi alamat dari para penguasa negeri ini, baik itu birokrat, pejabat, maupun oligark, maunya UU KPK, karena apa? Karena mengganggu. Menganggu proses bisnis kotor mereka,” kata Wawan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan pelemahan KPK menjadi salah satu alasan anjloknya skor indeks persepsi korupsi.
“KPKnya sudah lemah, siapa yang kemudian jadi back up? Enggak ada lagi lembaga yang bisa jadi pioneer pemberantasan korupsi,” kata Lola saat dihubungi Narasi (1/2/2023).
Menurut Lola, anjloknya skor indeks persepsi korupsi Indonesia bukanlah hal mengejutkan.
Ia memaparkan tiga lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan yang harusnya mengawal pemberantasan korupsi justru menjadi bagian yang melemahkan.
Kasus suap mantan Hakim Agung Galzaba dan Sudrajat Dimyati pada akhir 2022 silam menjadi salah satu contoh keras yang dinilai mencoreng persepsi publik terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.
“Itu kan membuat apa membuat persepsi orang jadi sangat negatif untuk proses penegakan hukum di Indonesia” kata Lola.
Wawan juga berpedapat demikian.
“Belum lagi jaksa, kepolisian, mereka juga melakukan. Apalagi komisioner KPK yang harusnya punya standar tinggi juga sempat tersandung etik. Ini kondisi penegakan hukum yang memiliki tantangan sangat berat,” kata Wawan.
“Ini nggak bisa diselesaikan dengan reformasi birokrasi, renumerasi, zona integritas, enggak bisa lagi.”
Berdasarkan laporan Transparancy International (TI) skor IPK Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara.
Skor IPK dikalkulasi dari gabungan berbagai indeks sumber data yang juga mencakup persepsi resiko dan potensi terjadinya korupsi.
Terdapat 8 indeks data yang dipakai dalam perumusan skor IPK Indonesia 2022: World Justice Report - Rule of Law Index, Political and Economic Risk Consultancy, Political Risk Service, Varieties of Democracy Project, Bertelsmann Stiftung Transformation Index, Economist Intelligence Unit - Country Risk Service, IMD World Competitiveness Yearbook, dan Global Insight Country Risk Ratings.
Berbagai indeks tersebut antara lain mencakup probabilitas petinggi eksekutif, yudikatif, legislatif, dan aparat hukum seperti polisi dan militer dalam mengambil keuntungan melaui jabatannya, risiko konflik kepentingan dalam pelaksanaan usaha dan izin ekspor-impor, serta ukuran keberhasilan pemerintah dalam upaya menghukum pejabat koruptif.
Latest Comment
Belum ada komentar
Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya