Pro Kontra Tuntutan 12 Tahun Penjara ke Eliezer, Benarkah Bikin Penjahat Takut Mengungkap Kejahatan?

Tuntuntan 12 tahun penjara jaksa kepada terdakwa Richard Elizer Pudihang Lumiu dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menuai prokontra.

Ada yang menilai tuntutan tersebut sudah sesuai dengan peran yang dilakukan Richard namun tak sedikit pula yang mengkritiknya.

Albert Aries, ahli hukum pidana yang juga saksi meringankan bagi Richard di persidangan menilai tuntutan jaksa bisa menimbulkan kesan negatif di masyarakat tentang fungsi justice collaborator.

“Maka persepsi masyarakat mengenai fungsi dari JC menjadi kurang positif. Apalagi ada yg berpandangan bahwa percuma jujur dan kooperatif kalau justru tuntutannya lebih berat dari pelaku penyertaan lainnya” kata Albert kepada Narasi, Jum’at (20/1/2023).

Albert menilai tuntutan kepada Eliezer mestinya lebih rendah dari terdakwa lain, yakni: Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal yang dituntut delapan tahun penjara.

Hal itu karena Richard merupakan justice collaborator (JC) yang mengungkap kasus ini.

“Dalam konteks JC, idealnya tuntutan Richard lebih rendah daripada para terdakwa lainnya,” ujarnya.

Bahkan Albert mengatakan jaksa bisa menerapkan tuntutan progresif kepada Richard karena ia merupakan orang yang disuruh melakukan pembunuhan atas dasar perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) dari Ferdy Sambo.

“Sedangkan dalam konteks adanya orang yang menyuruh lakukan (doenplegen), idealnya Jaksa dapat mengajukan tuntutan progresif berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtvervolging),” katanya.

Tuntutan Jaksa Bikin Penjahat Ogah Bongkar Kasus Kejahatan

Kekecewaan atas tuntutan jaksa juga disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban Edwin Partogi. Ia menyarankan jaksa merevisi tuntutan kepada Richard menjadi yang paling rendah dari empat terdakwa lainnya.

"Yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 pasal 10A ayat (3) dan 4, yaitu paling rendah di antara terdakwa lainnya,” kata Edwin dikutip Antara di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Edwin mengatakan tuntutan jaksa dapat mengakibatkan keraguan dalam pikiran para pelaku kejahatan yang hendak bekerja sama dalam mengungkap kasus dengan status justice collaborator.

“Nanti orang (pelaku kejahatan) jadi berpikir dua kali, sejauh mana menjadi justice collaborator berdampak pada pemidanaannya,” ucap Edwin.

Justice collaborator, tutur Edwin, seharusnya mendapatkan penghargaan atas kesaksiannya. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah hukuman pidana yang lebih rendah dibandingkan pelaku lainnya.

"Mungkin di jaksa melihat kualitas perbuatannya yang disamakan dengan pelaku utama, bukan dari kontribusinya (sebagai justice collaborator)," tutur Edwin.

Dinilai Sudah Penuhi Rasa Keadilan

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho menilai tuntutan jaksa kepada Richard sudah memenuhi rasa keadilan.

Ia mengatakan tuntutan ke Eliezer lebih berat daripada tuntutan ke Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal karena  Richard merupakan pelaku atau eksekutor pembunuhan Yosua.

Hibnu mengatakan status JC Richard merupakan rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sedangkan dalam kasus tersebut RE agak sulit dijadikan sebagai justice collaborator.

"Memang itu rekomendasi dari LPSK, dan rekomendasi kan bisa dipakai, bisa tidak. Karena pertimbangan jaksa, dia (RE) eksekutor, dia yang menembak, maka dalam tuntutan hukumannya, pandangan jaksa berdasarkan tuntutan seumur hidup terhadap FS, sehingga turunnya menjadi 12 tahun," jelasnya.

Tuntutan ke Putri Didasari Pertimbangan Gender

Hibnu mengakui sekarang muncul pertanyaan mengapa tuntutan hukuman terhadap Putri sama dengan Kuat dan Ricky. Menurutnya hal itu terjadi karena adanya perkembangan baru dalam hukum, yakni untuk wanita ada pertimbangan gender.

"Mosok suami-istri dipidana sama, kan dia punya anak, itu saya kira berpikir progresifnya di situ. Itu kan pikiran dari penuntut umum," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.

Status JC Richard Sudah Diakomodir

Kejaksaan Agung mengatakan status JC Richard yang direkomendasikan LPSK telah terakomodir dalam surat tuntutan jaksa.

"Terdakwa mendapatkan tuntutan pidana jauh lebih ringan dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung I Ketut Sumedana di Jakarta.

Keluarga Yosua Pengungkap Pertama Kasus

Ketut mengatakan terdakwa Richard merupakan seorang bawahan yang taat pada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah, sekaligus menjadi eksekutor pembunuhan Brigadir J.

Ia menjelaskan kasus pembunuhan berencana tidak termasuk atau diatur berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Akan tetapi, katanya, dalam undang-undang tersebut dan Surat Edaran Mahkamah Agung memang tidak secara tegas disebutkan pembunuhan berencana apakah masuk kategori JC yang bisa diberikan atau tidak.

Kemudian diktum dan delictum yang dilakukan Richard Eliezer sebagai eksekutor, yaitu pelaku utama bukanlah sebagai penguat fakta hukum.

"Jadi, dia bukan penguat mengungkap satu fakta hukum, yang pertama justru keluarga korban," jelas Ketut.

Akan tetapi, terdakwa Richard Eliezer merupakan pelaku utama sehingga tidak dipertimbangkan sebagai orang yang mendapatkan JC.

Hal tersebut sudah sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, papar dia.