Fenomena Quiet Quitting: Bekerja Sesuai Porsi, Bukan Mengejar Ambisi

1 Mar 2023 12:03 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi seseorang yang mengutarakan penolakannya pada urusan kerjaan di luar jam kerja. Sumber: Freepik.

Penulis: Rusti Dian

Editor: Margareth Ratih. F

Pertengahan tahun 2022, istilah quiet quitting ramai dibicarakan orang-orang. Istilah ini berkaitan dengan budaya di tempat kerja, khususnya di kalangan generasi milenial dan gen Z.

Berbicara tentang quiet quitting bukan berarti berhenti dari pekerjaan atau resign. Tren ini berkaitan dengan menetapkan batasan kehidupan kerja agar lebih seimbang. Quiet quitting justru memberi ruang bagi para pekerja agar tidak terlalu sibuk bekerja, melainkan juga memikirkan aktivitas yang lain.

Pengertian quiet quitting

Tren quiet quitting justru melawan tren hustle culture yang mendorong pekerja untuk terus bekerja dan hanya memiliki waktu istirahat sebentar. Quiet quitting adalah budaya kerja dimana seorang pekerja bekerja keras, tetapi tidak melupakan waktu untuk diri sendiri.

Pekerja yang menerapkan quiet quitting memang tetap menyelesaikan pekerjaannya. Namun, mereka juga menerapkan batasan dalam pekerjaan. Pola pikir ini bukan berarti berhenti bekerja atau resign, melainkan bekerja sesuai porsinya.

Sikap ini disebabkan karena banyak pekerja yang merasa bosan, tidak mendapat pengakuan atau kompensasi karena bekerja ekstra selama pandemi. Para pelaku quiet quitting menginginkan kehidupan yang seimbang antara pekerjaan dan aktivitas lain.

Sejak adanya pandemi Covid-19, para pekerja merasa jam kerja mereka menjadi kabur lantaran kebijakan work from home (WFH). Alih-alih bekerja dengan santai, WFH justru mengaburkan tanggung jawab seseorang di kantor dan di rumah. Jam kerja juga menjadi tidak teratur, bahkan cenderung tidak jelas.

Budaya kerja seperti itu justru memicu burnout atau stres karena lelah secara fisik, mental, dan emosional selama bekerja. Adanya quiet quitting dirasa relevan dengan yang dibutuhkan oleh milenial dan gen Z. Mereka merasa lebih baik bahagia dan sehat secara mental.

Tanda-tanda quiet quitting

Berikut tanda-tanda quiet quitting yang dapat ditemui di lingkungan kerjamu:

  1. Bekerja hanya di jam kerja, termasuk dalam membalas pesan atau email. Mereka tidak akan melakukan pekerjaan di luar jam kerja.
  2. Pulang tepat waktu, bahkan bisa jadi pulang lebih awal.
  3. Tidak aktif dalam berdiskusi.
  4. Tidak menghadiri agenda meeting.
  5. Menghindari acara kantor.
  6. Kurang bergairah untuk mengejar karir atau kenaikan jabatan.
  7. Tidak melibatkan diri dalam aktivitas yang dianggap tidak penting.
  8. Menurunnya produktivitas kerja.
  9. Kurang berkontribusi pada tim.
  10. Sibuk menyelesaikan pekerjaan individu.

Kelebihan dan kekurangan

Walaupun dinilai buruk oleh atasan, namun quiet quitting dapat berdampak positif bagi pekerja. Kelebihan quiet quitting di antaranya:

  • Memiliki waktu untuk mencari pekerjaan sampingan
  • Memiliki waktu untuk eksplorasi diri dan mengasah kemampuan baru
  • Dapat menghabiskan waktu bersama teman atau keluarga
  • Memiliki waktu istirahat yang cukup

Dampak negatif atau kekurangan quiet quitting di antaranya:

  • Semangat menurun
  • Pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dinilai performanya kurang baik
  • Sulit mencapai tujuan karir yang diinginkan
  • Atasan tidak puas dengan hasil kerja karyawannya
  • Tidak merasa puas dengan apa yang dikerjakan


Untuk mengatasi quiet quitting, pekerja dan pemberi kerja harus sama-sama berusaha memperbaiki hubungan dan budaya kerja yang ada. Jika kamu merasa beban kerja terlalu berat, kamu bisa bernegosiasi dengan atasanmu dengan menyertakan alasan dan data hasil kerjamu selama ini. Buat win-win solution agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER