7 Oktober 2022 13:10 WIB
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Ramadhan Yahya
Sindu Dwi Asmoro datang ke Stadion Kanjuruhan tidak untuk menonton keributan. Apalagi harus melihat orang-orang jatuh bergelimpangan di hadapannya. Sama seperti semua Aremania yang lain, ia hanya ingin melihat tim kesayangannya bermain.
Malam itu Sabtu, (1/10/2022) Arema FC kalah. Dari bangku tribun, Sindu melihat beberapa penonton turun ke lapangan seusai laga. Saat keributan mulai terjadi di lapangan, Sindu dan teman-temannya tetap bertahan di bangku mereka. Ia berada di tribun 14. Masalahnya, hanya ada satu pintu keluar untuk area tribun 13 dan 14.
“Jadi, di pintu 14 itu, pertama tidak ada yang turun. Nah, di situ, kan, di pintu 14 itu, selalu kumpulan suporter casual gitu, kan. Tidak ada yang turun ke lapangan dari situ.”
Tiba-tiba polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun 12, 13 dan 14. Asap putih mengepul, kepanikan pun pecah. Pemandangan yang Sindu temui, orang-orang berdesakan ingin selamat mencari pintu keluar. Di hadapannya, ia melihat orang-orang sesak napas, anak-anak terinjak di bawah.
“Pas keluar itu sesak banget. Orang pada berebut keluar. Ada anak kecil yang terinjak-injak. Terus, ada apa, pintu itu, pintu itu ditutup. Biasanya, (saat pertandingan masuk ke) menit 80 ke atas dibuka. Itu pintu ditutup,”
Selama 15 menit Sindu menyaksikan orang-orang tertahan saling berdesakan di depan pintu, yang ternyata terkunci. Suara tembakan gas air mata terus terdengar. Sementara asap dari gas air mata kian mengepung. Ia menutup hidungnya, tak tahu harus berbuat apa.
Lalu Sindu bersama teman-temannya memutuskan turun ke area lapangan. Mereka mau meminta polisi untuk tidak menembakkan lagi gas air mata. Mereka tak ingin orang-orang yang masih berada di tribun terluka.
“(Awalnya) Ya salaman sama polisi, jadi jangan sampai melukai yang di tribun, jangan tembakin terus yang di tribun, tribun waktu itu sudah panik, sudah berlarian orang, udah berebut untuk keluar, tapi masih ditembak (gas air mata). Kan disitu banyak anak kecil, ibu-ibu.”
Tembakan terhenti, tapi asap yang membuat perih mata dan sesak dada itu kadung menyebar di area tribun. Tak seperti mereka yang berdesakan di pintu 13, Sindu berhasil keluar lewat pintu VIP yang biasanya digunakan ambulans, truk dan mobil untuk keluar masuk stadion.
Di luar ia melihat orang-orang dievakuasi. Mereka saling tolong menolong dan diarahkan ke ruang VIP dan musala. Di ruangan itu pula, orang-orang sesak napas, dibaringkan di lantai.
Satu sama lain dari mereka saling menenangkan, memberi minum, dan mengibas-ngibas udara bagi yang masih sadar. Nahas, beberapa dari yang berbaring di ruangan itu, akhirnya tak bernyawa.
Diketahui sampai Kamis, (6/10/2022), korban tewas pasca pertandingan Arema FC melawan Persebaya ini, mencapai lebih dari 131 orang. Sedangkan 420 orang mengalami luka ringan atau sedang dan 23 lainnya luka berat.
Pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) guna mengusut tragedi Kanjuruhan hingga tuntas.
Presiden memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan, dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan pertandingan sepak bola serta prosedur pengamanan pertandingan tersebut.
Pada Kamis (6/10/2022) malam, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan para tersangka dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan.
Salah satu tersangka adalah Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita (AHL). Ia dikenakan Pasal 359 dan 360 KUHP karena menunjuk Stadion Kanjuruhan sebagai lokasi pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu, (1/10/2022). Masalahnya, stadion tercatat belum memenuhi syarat layak fungsi berdasarkan hasil verifikasi tahun 2020.
Tersangka lain adalah Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan berinisial AH (Abdul Haris), Security Officer berinisial SS (Suko Sutrisno).
AH ditetapkan tersangka dan dikenakan pasal Pasal 359 360 pasal 103 jo pasal 52 no 11 tahun 2022, lantaran tidak membuat dokumen keselamatan dan mengabaikan permintaan pihak keamanan. Ia disebut menjual tiket lebih dari kapasitas stadion, yakni 42 ribu padahal kapasitasnya hanya 38 ribu.
Sementara SS selaku security officer menjadi tersangka karena memerintahkan steward meninggalkan pintu gerbang. Padahal steward harus menjaga pintu. Akibatnya, pintu tidak terbuka optimal saat massa berdesakan dan panik ingin keluar.
Lalu, tiga anggota kepolisian yang dijadikan tersangka yakni Kabagops Polres Malang Wahyu SS, Anggota Brimob Polda Jatim berinisial H, Kasat Samapta Polres Malang BSA (Bambang Sidik Achmadi).
“Mereka (tiga anggota kepolisian yang disebutkan menjadi tersangka) memerintahkan anggota menembakkan gas air mata,” kata Kapolri.
Kabagops Polres Malang Wahyu SS menjadi tersangka karena mengetahui adanya larangan penggunaan gas air mata di stadion oleh FIFA, tapi yang bersangkutan tidak mencegah atau melarang personel memakai gas air mata. Dikenakan Pasal 359 dan atau 360 KUHP.
Sementara H selaku komandan kompi dan BSA, disebut memerintahkan personel untuk menembakkan gas air mata. Keduanya dikenakan Pasal 359 dan atau 360 KUHP.
KOMENTAR
Latest Comment