Melihat Ekofeminisme yang Dilakukan Mpu Uteun, Perempuan Penjaga Hutan di Aceh

27 May 2023 07:05 WIB

thumbnail-article

Perempuan anggota tim penjaga hutan Damaran Baru di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. (ANTARA/HO Yayasan HAkA)

Penulis: Rusti Dian

Editor: Rizal Amril

Di tengah maraknya penebangan liar di hutan kawasan Aceh, ada kelompok Mpu Uteun yang berusaha melindungi kawasan hutan tersebut. 

Mpu Uteun adalah kelompok perempuan yang menjaga hutan di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Sejak tahun 2015, Mpu Uteun ini merasa resah dengan bencana yang terjadi akibat perambahan hutan. Bencana banjir tersebut merusak puluhan rumah di Desa Damaran Baru.

Upaya yang dilakukan Mpu Uteun adalah patroli untuk mengatasi penebangan liar dan perburuan, membongkar jeratan yang dibuat pemburu, mendokumentasikan flora dan fauna setempat, dan menanam pohon.

Selama berpatroli, Mpu Uteun dibagi menjadi dua tim yang akan bekerja masing-masing selama lima hari. Satu tim berisi delapan orang dengan spesifikasi 5 laki-laki dan 3 perempuan. Di sini, perempuan sangat berperan penting untuk memberi arahan bagi pelaku penebangan liar.

Melansir dari BBC Indonesia, ketika ibu-ibu (perempuan) yang berbincang dengan para laki-laki yang melakukan illegal logging (perambah hutan) pasti didengarkan. Lain halnya dengan bapak-bapak yang pasti suasananya pun menjadi semakin panas.

Mpu Uteun dan ekofeminisme

Menurut penuturan warga, pelaku penebangan yang tertangkap mayoritas laki-laki. 

Hal ini menunjukkan bahwa Mpu Uteun berusaha menentang dominasi laki-laki dan tradisi patriarki yang menjadi penyebab kerusakan hutan di Aceh dan karenanya menjadi  manifestasi dari gerakan ekofeminisme.

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi dan kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan. 

Hal ini berangkat dari satu pemikiran bahwa dominasi dan diskriminasi lingkungan hidup maupun perempuan berasal dari budaya patriarki.

Pakar filsafat lingkungan Amerika Serikat Karen Warren menjelaskan filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek di antaranya:

  • Feminisme,
  • Alam, ilmu pengetahuan (ekologi), pembangunan, dan teknologi,
  • Perspektif lokal dan masyarakat asli.

Mpu Uteun berangkat dari kesadaran bahwa hutan di sekitarnya yang rusak akan berdampak pada kehidupan. Mereka bertekad untuk menjaga hutan tersebut dengan melakukan patroli hutan.

Walaupun apa yang dilakukan Mpu Uteun ini untuk kebaikan masyarakat, namun tetap ada pihak yang membencinya. 

Mpu Uteun pernah mendapat stigma sebagai perempuan tidak bermoral lantaran tidak seharusnya perempuan ikut mengurus hutan.

Budaya patriarki masih sangat melekat di masyarakat Aceh. Bagi mereka, menjaga hutan alias patroli hutan dilakukan oleh laki-laki. Mereka harus bertanggung jawab untuk mencari nafkah. 

Sedangkan perempuan hanya perlu mengurus pekerjaan domestik dan tidak seharusnya ikut campur masalah hutan.

Suka duka Mpu Uteun

Lambat laun, upaya Mpu Uteun pun diakui oleh masyarakat. Dengan berbekal perspektif terhadap alam yang sudah ada, serta pentingnya hutan bagi warga setempat, Mpu Uteun dianggap berhasil menemukan solusi atas permasalahan lingkungan yang dihadapi setiap harinya.

Mpu Uteun mengaku selama ini membentuk kegiatan secara swadaya. Siapapun bisa bergabung, asalkan sudah mendapat restu dari suami atau orang tuanya. Setelah itu, Mpu Uteun bisa melangsungkan patrolinya.

Melansir BBC Indonesia, duka yang dialami para perempuan Mpu Uteun adalah terbatasnya kemampuan fisik dan alat yang memadai. 

Selama ini, Mpu Uteun menggunakan sepeda motornya sendiri untuk melintasi jalan menanjak, terjal, batu besar, hingga hutan lebat tropis. Selain itu, seragam dan jas hujan yang digunakan pun terbatas.

Pada tahun 2019, keberanian dan semangat Mpu Uteun diakui oleh pemerintah.

Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pemberian hak pengelolaan hutan desa kepada Mpu Uteun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setiap Mpu Uteun berpatroli, mereka akan diberi imbalan sebesar Rp100.000.

Tiga aspek ekofeminisme sudah direalisasikan oleh Mpu Uteun. Di tengah krisis iklim dan lingkungan yang sedang menjadi masalah bersama, diharap perspektif ekofeminisme pun bisa menjawab permasalahan tersebut.

Salah satu caranya adalah dengan melibatkan perempuan dalam perencanaan, pengelolaan, serta pengambilan keputusan terkait lingkungan di daerahnya. 

Dengan begitu, pembuatan kebijakan dapat berdasar perspektif ekofeminisme yang tetap mengedepankan harmonisasi ekologi dan feminisme.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER